Inews Combat Sports – Keputusan UFC memberi Paddy Pimblett kesempatan bertarung untuk sabuk interim lightweight menghadapi Justin Gaethje langsung memantik perdebatan. Banyak pengamat menilai keputusan itu melompatkan Pimblett terlalu jauh, terlebih ia belum pernah mengalahkan petarung yang berada di peringkat 10 besar. Situasi semakin memanas karena Arman Tsarukyan petarung peringkat satu kelas ringan justru dibiarkan menunggu tanpa kepastian meski baru mencetak kemenangan impresif atas Dan Hooker. UFC veteran Matt Brown menjadi salah satu sosok yang paling vokal menyuarakan ketidaksetujuannya. Dalam pandangannya, keputusan ini menyingkirkan asas meritokrasi yang seharusnya menjadi pondasi olahraga. Menurut Brown, UFC tampak lebih memilih popularitas dibandingkan prestasi. Perdebatan ini lantas berkembang menjadi diskusi lebih luas mengenai arah kompetisi dan bagaimana keputusan promotor dapat memengaruhi perjalanan para petarung.
Matt Brown Menilai UFC Mulai Kehilangan Meritokrasi
Dalam podcast The Fighter vs The Writer, Matt Brown menyampaikan kritik keras terhadap arah kebijakan UFC. Menurutnya, pemberian titel dan perankingan kini terlalu dipengaruhi oleh satu pihak: promotor. Ia menyebut situasi ini sebagai bentuk “monopoli” yang berpotensi menggerus masa depan olahraga MMA. Brown memahami bahwa UFC mengutamakan penjualan pay-per-view, tetapi ia mengingatkan bahwa olahraga tetap butuh sistem penghargaan berbasis prestasi untuk bertahan lama. Dalam jangka pendek, keputusan semacam ini memang meningkatkan minat penonton, namun Brown menilai tren seperti itu tidak memberikan fondasi kuat bagi keberlanjutan kompetisi. Ia khawatir bahwa petarung-petarung dengan kemampuan teknis tinggi justru tersisih karena tidak memenuhi standar “hiburan” yang dicari promotor. Pernyataan ini kemudian memancing reaksi luas di komunitas MMA, terutama dari mereka yang mendukung sistem kompetisi yang lebih adil.
“Baca Juga : Jejak dan Potensi Lyfe Oldenstam: Kisah Pertemuan yang Memantik Harapan untuk Timnas Indonesia“
Arman Tsarukyan: Korban Keputusan yang Tidak Logis?
Posisi Arman Tsarukyan menjadi pusat perhatian karena dialah petarung yang dinilai paling layak tampil dalam laga perebutan gelar. Setelah batal menghadapi Islam Makhachev karena cedera, Tsarukyan bangkit kembali dan mengalahkan Dan Hooker dengan dominan. Namun, semua usaha itu seakan tidak dihargai setelah UFC memilih Pimblett dan Gaethje untuk memperebutkan sabuk interim. Brown menilai Tsarukyan layak merasa kecewa. Bahkan, ia menyebut bahwa jika situasi ini terus berlanjut, Tsarukyan mungkin baru mendapat kesempatan titel pada 2027. Kritik ini bukan hanya soal satu keputusan, melainkan cerminan frustrasi lebih dalam tentang bagaimana peluang juara dapat hilang bukan karena kekalahan, tetapi hanya karena dinamika bisnis. Brown bahkan menyarankan UFC untuk membuang sistem ranking jika pada akhirnya popularitas lebih menentukan arah kompetisi dibandingkan pencapaian atlet.
Popularitas Vs Prestasi: Perdebatan yang Makin Kencang
Brown turut menyoroti catatan lawan Pimblett yang dianggap tidak mencerminkan kelayakan menuju pertarungan perebutan gelar. Tiga lawan terakhir Pimblett memiliki rekor gabungan buruk dalam beberapa pertandingan terakhir, membuat banyak orang mempertanyakan alasan UFC memberinya kesempatan emas. Ia menilai publik belum benar-benar tahu kapasitas Pimblett ketika menghadapi petarung elit, sehingga keputusan ini dianggap “konyol”. Justin Gaethje pun tidak lolos dari kritik. Meski diakui sebagai petarung tangguh, ia dianggap belum memiliki momentum signifikan untuk kembali masuk perebutan gelar. Brown menilai bahwa keputusan UFC seperti mengabaikan jalur prestasi demi memilih petarung yang mudah dipasarkan. Hal ini memunculkan dilema: apakah MMA kini lebih mengutamakan atletik atau sekadar pertunjukan bagi penonton?
“Baca Juga : Drama Shin Tae-yong dan Jung Seung-hyun: Kisah Retak Hubungan Pelatih dan Mantan Pemainnya“
Kasus Diego Lopes dan Volkanovski: Ketika Pola Terulang
Selain divisi lightweight, Brown juga mempertanyakan keputusan UFC memberi Diego Lopes rematch melawan Alexander Volkanovski hanya berselang kurang dari setahun sejak pertemuan pertama. Padahal, ada dua petarung undefeated Movsar Evloev dan Lerone Murphy yang dianggap lebih pantas mendapatkan kesempatan. Menurut Brown, kemenangan Lopes atas Jean Silva tidak cukup menjadi alasan kuat untuk melompatkan dirinya kembali ke laga perebutan titel. Ia menilai bahwa rematch tersebut tidak memberikan makna kompetitif yang signifikan. Kasus ini semakin mempertegas kekhawatirannya bahwa UFC kini lebih mengutamakan faktor penonton dibanding kelayakan atlet. Penantian Evloev dan Murphy dianggap sebagai bukti bahwa persaingan bukan lagi tentang siapa paling layak, tetapi siapa paling menguntungkan secara komersial.
Jangka Panjang bagi Atlet dan Dunia MMA
Brown menutup komentarnya dengan kegelisahan yang lebih dalam. Ia menilai bahwa ketidakseimbangan seperti ini dapat membuat atlet top enggan datang ke UFC. Petarung dengan latar belakang elite seperti pegulat Olimpiade atau juara grappling tidak ingin mengorbankan karier mereka demi konten viral atau citra populer. Mereka ingin menjadi juara lewat kemampuan, bukan lewat popularitas. Jika hal ini terus berulang, Brown khawatir UFC akan kesulitan mempertahankan kualitas kompetitifnya. MMA, menurutnya, harus tetap memberi ruang bagi atlet yang murni mengejar prestasi. Ia berharap UFC meninjau kembali kebijakan penentuan titel agar olahraga ini tetap memiliki integritas. Dalam pandangannya, keadilan bagi para atlet harus menjadi pondasi utama, bukan sekadar angka penjualan atau pencapaian viral di media sosial.