Inews Combat Sports – Nama Tony Ferguson pernah berdiri kokoh di jajaran elite kelas ringan UFC. Rentetan 12 kemenangan beruntun membuatnya nyaris tak tersentuh dan digadang-gadang akan bertarung memperebutkan gelar melawan Khabib Nurmagomedov. Namun, cedera, waktu yang tidak berpihak, hingga pandemi global menghancurkan skenario besar itu. Kekalahan dari Justin Gaethje pada 2020 menjadi titik balik yang menyakitkan. Setelahnya, Ferguson seperti terseret arus gelap yang sulit dihentikan, hingga mencatat delapan kekalahan beruntun. Banyak yang menyebutnya habis, tak relevan, dan seharusnya berhenti. Bagi Ferguson, masa itu bukan sekadar penurunan performa, melainkan fase kehilangan arah, identitas, dan rasa cinta terhadap kompetisi yang dulu membesarkan namanya.
Suara Brock Lesnar yang Tak Mudah Diabaikan
Di tengah tekanan dan kritik, satu suara justru terasa paling menusuk: Brock Lesnar. Mantan juara kelas berat UFC itu bukan sekadar legenda, tetapi juga sosok yang pernah melatih Ferguson di The Ultimate Fighter. Dalam sebuah percakapan pribadi, Lesnar menyampaikan nasihat sederhana namun berat maknanya: mengelola keuangan dengan bijak dan mulai memikirkan pensiun. Bagi Ferguson, kata “pensiun” terasa seperti tamparan keras. Namun, rasa hormatnya pada Lesnar membuat nasihat itu tak bisa diabaikan begitu saja. Berbeda dengan komentar pedas dari luar, pesan Lesnar lahir dari kepedulian. Ia tidak ingin melihat atlet yang diasuhnya terus terluka, baik secara fisik maupun mental, setelah bertahun-tahun berjuang di level tertinggi.
“Baca Juga : Anthony Hollaway Kolaps di Ring Karena Gagal Napas“
Luka, Amarah, dan Harga Sebuah Perjuangan
Ferguson tak menampik bahwa mendengar saran pensiun membuatnya marah dan terluka. Ia merasa hanya petarung yang menjalani proses berat setiap hari yang benar-benar memahami pengorbanan di balik satu laga. Ice bath dini hari, sesi sauna panjang, latihan hingga tubuh nyaris menyerah semua itu tak terlihat oleh publik. Kritik dari luar sering kali terdengar dangkal bagi Ferguson. Namun, justru dari konflik batin itulah ia mulai jujur pada dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa masalahnya bukan semata kalah atau menang, melainkan kehilangan gairah. Ia masih ingin bertarung, tetapi bukan dengan cara lama. Dari situ, Ferguson mulai mencari makna baru tentang apa artinya menjadi seorang petarung.
Menemukan Makna “Passion Kedua”
Dalam percakapan lanjutan, Brock Lesnar memberi nasihat yang mengubah segalanya: temukan passion kedua dan kejar dengan kesungguhan yang sama seperti yang pertama. Kalimat itu melekat kuat di benak Ferguson. Ia menyadari bahwa kompetisi adalah napas hidupnya. Bukan sekadar UFC, tetapi olahraga itu sendiri. Ia ingin kembali merasakan adrenalin, ketegangan, dan kebanggaan bertarung. Bukan karena nostalgia, melainkan karena dorongan batin yang belum padam. Dari sinilah pintu menuju dunia tinju terbuka. Bagi Ferguson, tinju bukan pelarian, melainkan kesempatan untuk memulai ulang tanpa bayang-bayang masa lalu yang membebaninya.
“Baca Juga : Oleksandr Usyk Dapat Izin Voluntary Defense, Persaingan Kelas Berat Makin Memanas“
Awal Baru di Dunia Tinju Misfits
Keputusan bergabung dengan Misfits Boxing menjadi langkah berani. Ferguson langsung ditempatkan dalam laga perebutan gelar pada debutnya. Tekanan besar, ekspektasi tinggi, dan keraguan publik kembali menyelimuti. Namun kali ini berbeda. Pada Agustus lalu, Ferguson mencetak kemenangan knockout kemenangan pertamanya sejak 2019. Sabuk interim kelas menengah memang penting, tetapi yang jauh lebih berharga adalah keyakinan bahwa dirinya belum selesai. Tinju memberinya ruang berekspresi, tantangan baru, dan rasa lapar yang sempat hilang. Ia kembali tersenyum, kembali menikmati proses, dan kembali percaya bahwa tubuh serta mentalnya masih sanggup bersaing.
Babak Baru dengan Semangat yang Terlahir Kembali
Menjelang pertarungan berikutnya di Dubai, Ferguson terdengar seperti pria yang terlahir kembali. Ia berbicara tentang masa depan dengan antusias, bukan amarah. Ia tak menutup pintu untuk kembali ke MMA atau menjajal grappling, tetapi kini ia fokus menikmati setiap peluang yang datang. Bagi Ferguson, ini adalah fase berdamai dengan masa lalu dan menyambut versi baru dirinya. Ia menegaskan satu hal dengan lantang: pensiun bukan pilihan. Selama tubuhnya mampu bergerak dan hatinya masih ingin bertarung, ia akan terus maju. Ini bukan tentang membuktikan diri pada dunia, melainkan tentang setia pada panggilan hidupnya sebagai seorang petarung.