Inews Combat Sport – Dustin Poirier menutup karier MMA-nya dengan laga penuh makna melawan Max Holloway di UFC 318, Juni lalu, di Louisiana kampung halamannya. Meski kalah angka mutlak, ia menaruh sarung tinju di tengah oktagon, menandai akhir perjalanan panjang yang emosional. Bagi Poirier, malam itu bukan soal menang atau kalah, melainkan soal menutup lembaran dengan terhormat di hadapan keluarga dan publik yang mencintainya.
Poirier mengaku masa pensiun tak semudah yang ia bayangkan. “Seolah bagian dari diriku mati,” ujarnya. Selama 20 tahun, hidupnya diatur oleh jadwal latihan, pertandingan, dan mimpi menjadi lebih baik setiap harinya. Kini, tanpa rutinitas itu, ia merasa kehilangan arah. Banyak atlet mengalami kekosongan serupa saat melepas identitas yang telah melekat selama puluhan tahun.
“Baca Juga : Liverpool Memasuki Era Sulit di Bawah Arne Slot: Waktunya Revolusi Lini Belakang“
Alih-alih merasa lega, Poirier justru merasa seperti kehilangan jati diri. Ia masih bangun setiap pagi dengan semangat latihan, tapi tanpa arah yang jelas. “Aku masih mencoba memproses semua ini,” ujarnya. Menurut saya, ini membuktikan bahwa bagi pejuang sejati, pertarungan bukan hanya soal olahraga tapi cara hidup.
Walau emosional, Poirier merasa malam pensiunnya di Louisiana adalah penutup karier yang ideal. “Semua penonton bertahan sampai akhir. Tidak ada yang beranjak,” katanya. Ia pun merasa dihargai, tidak hanya oleh fans, tapi juga pihak UFC. Bagi saya, tidak semua atlet bisa pensiun dengan cara seperti ini. Ini bukan hanya akhir yang manis, tapi juga babak baru.
“Baca Juga : Dua Sisi Cristiano Ronaldo Terlihat Saat Al Nassr 5‑1 Al Fateh“
Meski menyiratkan kemungkinan kecil, Poirier tak sepenuhnya menutup pintu. Namun, ia menegaskan bahwa keluarga, terutama istrinya, tak menginginkan ia bertarung lagi. “Butuh kondisi yang benar-benar sempurna untuk saya kembali,” ucapnya. Baginya, pensiun ini adalah keputusan yang telah dipertimbangkan matang.
Poirier adalah petarung sejati 32 laga di UFC, pernah juara interim, dan dua kali menaklukkan Conor McGregor. Tapi, seperti yang ia tunjukkan, tantangan terbesar justru datang setelah bel berbunyi terakhir. Dari kisahnya, kita belajar bahwa melepaskan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kedewasaan dan keberanian untuk menghadapi hidup selanjutnya.